Jumat,
23 Oktober 2015. Pukul 17:00 WIB.
JAKARTA—Siapa yang tak melengkungkan senyum haru jika terlibat dalam
obrolan ringan seputar pendidikan dengan dua orang anak pemulung ini? Ditemui
di sekitar bantaran Banjir Kanal Timur, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur (23/10)
pukul 17:00 WIB, kedua bocah ini baru saja melepas lelah seusai mengais rezeki.
Sebut saja Anis dan Ujang. Bocah-bocah lugu ini memiliki
dua profesi: pelajar dan pemulung. Usia mereka baru 10 tahun dan sama-sama
sedang mengenyam pendidikan kelas tiga Sekolah Dasar di salah satu yayasan yang
letaknya tak jauh dari Universitas Dharma Persada, Jakarta Timur.
Hanya bermodal karung, besi pengait, dan sandal tipis mereka
berani menerjang matahari. Kegiatan memulung mereka di mulai sekitar pukul satu
siang hingga pukul lima sore. Seperti pada umumnya, sampah-sampah yang dipilih
adalah sampah anorganik yang berasal dari botol bekas air mineral, styrofoam, kardus, plastik, dan bungkus makanan
ringan. Upahnya sebenarnya tidak seberapa banyak. Sampah plastik kotor dihargai
Rp. 2.000 per kilogram, sampah bersih sekitar Rp. 3.500 per kilogram,. Untuk
kardus dan koran masing-masing dihargai Rp. 1.000 dan Rp. 400 per kilogram. Penghasilan
mereka per hari hanya berkisar antara Rp. 7000 - Rp. 10.000. Mereka menggunakan
uang itu untuk membeli makanan atau keperluan sekolah.
Kegiatan memulung setiap pulang sekolah yang mereka
lakukan tidak didasari atas paksaan dari manapun. Meskipun berada dalam kelas
ekonomi menengah ke bawah, orang tua Anis dan Ujang tetap memperhatikan
pendidikan anak-anak mereka. “Bapak sih nyruh saya sekolah aja yang bener, kak.
Biar nanti bisa jadi tentara” Ungkap Ujang dengan bangga. Namun keinginan untuk
memiliki uang sendiri dan keengganan untuk menyusahkan kedua orang tua lah yang
mendorong kedua bocah ini untuk mencari rezeki tambahan. “Tapi kita mulung aja,
biar ada duit, nggak minta-minta lagi sama Emak sama Bapak” Tambah Anis.
Meski memulung dari siang hingga sore, kedua bocah ini
tetap tidak melupakan tanggung jawabnya sebagai peserta didik. “Kalo PR mah
ngerjain terus kak, tapi paling pagi-pagi. Kalo malem capek” Kata Ujang saat ditanya
perihal bagaimana mereka membagi waktu antara bekerja dan belajar.
Mereka memulung dengan penuh suka cita seakan tanpa
beban. “Kita mulung juga sambil main-main, kan banyak temennya” Jelas Anis
dengan senyum yang mengembang.
Jika anak-anak masa kini umumnya sibuk dengan gadget, membuat heboh media sosial, jalan-jalan
ke mall, atau meminta uang kepada orang tua tanpa pikir panjang untuk membeli
barang-barang yang sebenarnya di luar kebutuhan pokok—Ujang dan Anis justru
sibuk mengais rezeki demi mengurangi beban kedua orang tua mereka dalam
memenuhi kebutuhan sekolah, meski hanya sedikit.
Bukankah sepatutnya kita lebih banyak bersyukur? (Fenna Irena).
No comments:
Post a Comment